Kamis, 04 Oktober 2012

Liputan Khusus :Dakwah di Kaki Lawu

(investigasi Ponpes Isy Karima, Karanganyar)



Pondok Pesantren Isy Karima berdiri sejak tahun 1998. Meski masih tergolong muda, pesantren ini menjadi buah bibir karena sejumlah prestasinya. Sebagaimana nasib pesantren sehaluan, Isy Karima juga tak lepas dari pro-kontra. Namun demikian, Isy Karima terus berkembang pesat dengan berbagai trobosannya.

Lawu nampak berkabut siang itu. Di kakinya, masyarakat menggantungkan hidup pada alamnya yang subur dan indah. Tak terkeculai Karni yang mengais rezeki dari para pelancong. Ia berjualan makanan dan kopi di warung pinggir jalan raya Karangganyar-Tawangmangu. Wisatawan yang akan atau telah mengunjungi obeyek wisata Grojogan sewu biasanya mampir ke warung kecilnya.

Karni lahir dan besar di tempat ia mengais rejeki kini. Segala sesuatu yang terjadi di kampungnnya, tak banyak yang ia lupa. Masyarakat Lawu, termasuk di Kecamatan Karangpandan, tempat Karni tinggal memang cenderung hidup pas-pasan. Jika ada rumah mewah atau restoran berkelas itu adalah milik  para saudagar atau pejabat dari Surakarta dan sekitarnya. Sementara penduduk asli kebanyakan berprovesi sebagai petani atau pedagang.
Karangpandan sebagai salah satu dari 17 kecamatan di Kabupaten Karanganyar mengalami pertumbuhan ekonomi yang baik. Ini karena Karangpandan masih termasuk dalam wilayah wisata yang berpusat di Kecamatan Tawangmangu. Seiring berkembangnya pariwisata, kecamatan dengan jumlah penduduk 39.766 jiwa itu juga ikut bergeliat. Dengan luas wilayah 34,11 km², Karangpandan mampu secara perlahan bangkit dari ketertinggalan yang identik dengan masyarakat di wilayah pegunungan.
Pertumbuhan wilayah di kaki Lawu itu paling terasa akhir-akhir ini. Kala masih dalam belenggu kemiskinan, kepapaan itu mau tak mau ke mempengaruhi banyak hal termasuk dalam hal keyakinan. Konon, dahulu kala masyarakat Karangpandan mayoritas adalah masyarakat “Abangan” – istilah bagi penganut aliran kejawen – yang labil. Situasi itu lantas membuat Karangpandan sebagai medan perebutan pengaruh dari sejumlah lembaga keagamaan.
Karni ingat betul tatkala sebuah lokasi peribadatan dibangun bernama El-Betel. Situs tersebut adalah tempat peribadatan sekaligus wisma. El-Betel pada awalnya diperuntukan sebagai pusat pendidikan agama di Karangpandan. Lokasinya tepat di pinggir jalan raya. Sebuah bangunan menyerupai kastil menjulang lengakap dengan ornamen khas benteng di Eropa. Di kompleks El-Betel terdapat sejumlah wisama untuk menginap, temapat peribadatan, bahkan gua-gua kecil dengan design menyerupai gua alam.
Namun demikian, Karni enggan menceritakan lebih lanjut tentang sejarah El-Betel. Ia hanya mengatakan mayoritas warga kampungya adalah muslim. “Hanya satu yang non,” tuturnya. Meski muslim, Karni menilai jika warganya dahulu belum terlalu memahami agama secara baik. Masjid pun sangat jarang apalagi pengajian rutin dan semacamnya. “Saya pake kerudung juga belum terlalu lama,” tambah Karni sembari bercanda. Ia juga menceritakan soal kerudung dan pakainnya yang biasa pun tak besar. Saat itu Karni bahkan mengenakan celana blue jeans.
Karni mulai berjilbab setelah rutin mengikuti pengajian rutin yang diadakan pesantren di dekat warungnya. Sekitar tahun 1998, pesantren itu beridiri dan Karni menjadi jamaah setianya. Meski kostum Karni cukup berbeda dengan jamaah lainnya yang berjilbab besar dan beberapa diantaranya memakai cadar, ia mengaku tetap nyaman. “Yaseperti ini lah. Yang penting nutup aurat,” ucap wanita kelahiran 1972 ini. Tidak ada keharusan di pengajian itu untuk berbusana layakanya jamaah pesantren itu secara umum. Isy Karima, demikian nama pesantren tersebut.
Keberadaan pondok pesantren Isy Karima menurut Karni sangat membawa manfaat. Para santri dan ustadznya tak hanya terkungkung di kompleks pesantren tapi juga mambaur dengan warga. Para ustadzanya sering mengisi ceramah di masjid-masjid sekitar pondok. Tak hanya itu, para santrinya juga aktif mengajar TPA bagi anak-anak kampung tak terkecuali putra putri Karni. Beberapu wanita kampung Karni bahakn diperisteri oleh ustadz pondok tersebut.
Bagi Karni sebagai seorang muslim, keberadaan pesantren itu mampu membentengi warga di kaki Lawu untuh berubah keyakinan. Ia memang tidak merasakan sendiri adanya usaha dari oknum organiasasi tertentu untuk membuatnya menanggalkan keislamannya. Namun, Karni tak memungkiri jika ada usaha semacam itu. Terlebih di kecamatan Karangpandan dan Tawangmangu kini berdiri banyak pusat-pusat keagamaan yang aktif.
Faidz Ahmad Holiz, alumni Isy Karima yang tengah menjalani program pengabdian tak menyangkal jika masih ada perebutan pengaruh di Karangpandan. Usaha itu terkadang dianggap sebatas isu. Namun bagi Faidz, kegiatan yang mengarah pada usaha berpindahnya keyakinan seseorang bukan isapan jepol belaka. “Mereka baru aktif saat hari perayaannya. Atribut mereka keluar,” tutur Faidz. Meski demikian, tidak pernah terjadi gesekan yang berarti antara Isy Karima dengan lembaga keagamaan lain. “Mereka punya strategi, kami juga punya strategi,” tambah pemuda 19 tahun ini. Uniknya, beberpa waktu lalu pihak El-Betel berniat menjual kompleksnya kepada Isy Karima. Namun, pesantren saat itu tidak memiliki dana yang cukup dan pemebelian itu tidaklah mendesak.
Strategi itu bukanlah strategi yang rumit. Isy Karima melakukannya dengan memantapkan keimanan masyarakat sekitar. Salah satunya dengan mengutus santri-santrinya membimbing TPA di wilayah sekitar pondok. Santri yang diutus adalah mereka yang telah khatam tahfidznya. Ini agar ilmu mereka mantap dan santri tak tak terganggu proses menghafalnya. Sampai saat ini kegiatan tersebut menadapat tanggapan yang baik.
Bagi Faidz, selain meberikan manfaat bagi umat, kegiatan mengajar TPA itu menjadi pembelajaran tersendiri. Ia diajarkan untuk berhadapan dengan lapangan dakwah secara langsung. Asam garam bisa dicicipi dari proses tersebut. Faidz tak mengelak jika terkadang perbedaan antara Isy Karima dengan mayoritas warga Karangpandan terkadang menui tanya. Kostum santri Isy Karima yang syari beberapa kali mengusik tanya. “Setelah kami jelaskan mereka bisa mengerti,” ucapnya. Pakaian syar’i itu malah semakin banyak dikenakan warga kini.

****
 Kaki Lawu tetaplah sejuk dan indah. Di salah satu lerengnya berdiri bangunan nan megah. Kubah disetiap atapnya memantulkan cahaya mentari yang berkilauan. Dua buah menara menjulang tinggi mendampingi sebuah masjid cantik ditengah kompleks itu. Sebuah bendera merah putih berkibar gagah ditengah halamannya yang luas. Di salah satu bangunan tersebut tertulis papan nama “Pesantren Tahfidzul Qur’an Isy  Karima”. Itulah pesantren kebanggaan Karni dan umat Islam di Kecamatan Karangpandan.
Pesantren Isy Karima berdiri sejak tahun 1998. Meski masih tergolong muda, pesantren ini telah banyak menuai prestasi dan banyak menjadi buah bibir. Sebagaimana nasib pesantren sehaluan, Isy Karima juga tak lepas dari pro-kontra. Namun demikian, Isy Karima terus berkembang pesat dengan berbagai trobosannya.
Awalnya, lokasi Isy Karima adalah persawahan dan kebun semangka di pinggir jalan raya Karanganyar-Solo. Hingga suatu saat tanah itu dibeli oleh seorang dokter kenamaan asal Solo, Tunjung. Dokter ahli ortopedi itu awalanya ingin membuat kebun itu sebagai tempat singgah tatkala ia melakoni hobinya bersepeda. Tiap libur, Tunjung secara rutin bersepeda dari hingga Tawangmangu. Untuk melepas lelah ia biasanya beristirahat di lokasi tersebut.
Singkat cerita ada seorang syeh dari timur tengah tengah berlibur ke Tawangmangu. Ia mengutarakan ingin mendirikan sebuah masjid di wilayah Karanganyar. Tunjung memandang jika akan lebih baik jika tanah pertaniannya di Karangpandan didirkan masjid. Sekitar tahun 1996, masjid tersebut akhirnya berdiri. Masjid itu adalah masjid yang kini menjadi bagian dari kompleks Isy Karima.
Siahabudin, direktur Isy Karima bercerita jika keberadaan masjid yang megah itu awalnya memperihatinkan. Seringkali fungsi masjid itu malah tak seperti seharusnya. Masjid yang luas dan indah itu hanya menjadi tempat bersinggah para pelancong. “Itu tempat ampiran orang ke toilet saja,” tutur pria yang menginjak usia 36 tahun ini. Acapkali, masjid tersebut malah menjadi tempat pasangan muda-mudi tanpa tujuan yang jelas.
Wajar kirangya keberadaan masjid tak semakmur sesuai harapan. Masyarakat setempat saat itu sangat awam agama. Mayoritas penduduk memang adalah muslim tapi sangat jarang yang memahami agama. “Saat itu di sini tak terdengar suara azan sama sekali,” kata Sihabudin. Kondisi itu lantas membuat pemilik lahan, Tunjung prihatin dan ingin agar masjid tersebut dimakmurkan.
Sekitar tahun 1998 Sihabudin bersama Narno dan Salman memulainya dengan mengajar TPA. Sekian waktu mereka mulai berwacana untuk membuat pesantren. Meski sedang gencar-gencarnya isu ninja – pembunuhan tokoh islam saat lengsernya orde baru – mereka tetap gigih dengan mimpi mendirikan pesantren. Tunjung pun mengamini.
Sejumlah pihak dari berbagai organisasi menawarkan konsep yang kiranya cocok. Ada yang mengusulkan pendirian Islamic Center. Pun ada yang menawarkan konsep pesantren layaknya Al Mukmin Ngruki. Namun Tunjung melihat beberapa konsep tersebut terlalu berat. “Pak Dokter (Tunjung, Red.) melihat konsep itu terlalu tinggi,” kata Sihabudin yang kini adalah menantu dari Tunjung ini. Hingga akhirnya mereka sepakat untuk mendirikan pesantren tahfidz. “Punya satu ustadz besok nyari 20 santri besok sudah bisa mulai,” tambahnya. Sihabudin sendiri saat itu telah menjadi hafidz.
Pesantren itu awalnya memiliki 16 orang santri. Dalam jenjang pendidikan pesantren, Isy Karima saat itu adalah mahad ali. Dua tahun berlalu dan Ke-16 santri itu telah menjadi hafidz. Sihabudin pun mulai bertanya mau dibawa kemana Isy Karima. “Piye, iki ilmuku wis entek, Kita mau bubar apa pulang,” candanya mengenang kala itu. Beberapa santri awal itu adalah mereka yang menjadi ustadz Isy Karima kini. Mereka akhirnya sepakat untuk membuat aliyah meski dengan pengalaman yang amat minim untuk membuat sekolah. Keyakinan bahwa mengajarkan ilmu adalah mulialah yang membuat tekat itu membulat. “Kamu mengajarkan qur’an tok, bisa 20 orang per tahun, ganjaranmu di depan Allah itu sama kaya Doktor,” tutur Sihabudin mengutip nasihat Kiainya.
Suatu hari ada seorang Syeh mampir di masjid Isy Karima. Ia bertemu dengan Sihabudin dan berbicara banyak soal Isy Karmia. Syeh tersebut menasihati Sihabudin untuk menuntu ilmu di timur tengah agar Isys Karima bisa berkembang. Yayasan juga meminta Sihabudin untuk bergegas melanjutkan pendidikannya. Berhuntung, tatkala ia diundang ke pesantren Tambak Beras, Siahabudin singgah di Jombang dan bertemu Gus Mawahid yang pensiunan KBRI Syria. Gus Mawahid memberi rekomendasi agar Sihabudin bisa belajar di timur tengah. Sihabudin akhirnya bisa melanjutkan belajarnya ke Damaskus.
Kondisi Isy Karima yang untuk sementara Sihabudin tinggal semakin memburuk. Santri Isy Karima mencapai 50 orang namun kurang terurus. Beberapa ustadz juga memilih untuk mengajar di tempat lain. Hingga akhirnya dua tahun berlalu dan Sihabudin pun sampai di tanah air. Mengingat kondisi yang demikian yayasan mengangkatnya sebagai mudir (kepala pesantren).
Butuh sekitar dua tahun untuk membuat Isy Karima setabil. Meski tanpa kejelasan konsep di awal, dengan belajar sembari berjalan, Isy Karima menemukan sistemnya sendiri. “Dulu membuat surat saja kita tidak bisa,” tutur lulusan pesantren Karang Asem, Lamongan ini. Segenap pengurus Isy Karima pun rajin mengikuti pelatihan dan seminar mengenai manajemen pengelolaan pendidikan.
Menginjak usia kedelapan, Isy Karima telah matang dan di tahun kesembilan mereka mulai mengembangkan sayap. Proses tersebut relatif cepat karena jajaran Isy Karima adalah satu akantan yang kompak. “Dulu tidak terkonsep menjadi konsep.  Itulahasbabul nuzul,” ujar Sihabudin. Di tahun itu juga lulusan Isy Karima mampu menembus untuk belajar di timur tengah. Beberapa dari mereka melanjutkan di Arab Saudi yang bermahzab wahabi. Sebagian lainnya belajar di Syria yang dikenal berhaluan Syafii. “Ada yang bertanya ini pesantren apa? Kiblatnya kemana? ya kiblatnya ke kabah,” canda ayah dua anak ini. Sihabudin juga menegaskan jika Isy Karima itu netral.
Sekitar tahun 2008 sejumlah ustadz Isy Karima berkesempatan menunaikan ibadah haji. Saat itulah Isy Karima mulai menjalin hubungan yang serius dengan para Syeh timur tengah. Kala itu, Isy Karima juga berkesempatan menjadi anggota dari lembaga tahfidz internasional yang berpusat di Jedah. Oragniasasi itu bernggotakan 60 negara. Isy Karima mendapat banyak akses untuk mengenal pesantren-pesantren tahfidz dari seluruh dunia. Hubungan itu membuka kesempatan bagi santri Isy Karima untuk mendapat beasiswa ke timur tengah. Tak hanya itu, Sihabudin dan rekannya juga bisa membangun relasi dengan para syeh yang berpengaruh.
Perkembangn Isy Karima yang begitu pesat tak hanya menguntungkan bagi lembaga tapi juga masyarakat sekitar pondok. Tiap hari Minggu, Isy Karima mengadakan pengajian bertajuk Ahad Pagi. Jamaah yang hadir ratusan dari sekitar Surakarta tak terkecuali warga Karangpandan. Dalam pengajian itu Isy Karima juga memberikan bantuan bagi jamaah yang kurang mampu. Harapannya adalah agar masyarakat lebih kuat keislamannya.
Disinggung soal isu kristenisasi yang marak di sekitar kaki Lawu, Sihabudin menyiratkan jika tak ada yang perlu dihawatirkan. Meski banyak pusat lembaga Kristiani di sekitar Karangpandan, itu tak membawa dampak yang signifikan bagi umat. “Di depan ada (umat Kristiani, Red.) yang berjualan. Tidak jauh dari sini juga ada El-Betel,” katanya. Tidak pernah terjadi konflik baik dengan umat maupun lembaga agama lain. Isy Karima lebih fokus untuk memperbaiki umat Islam.
Sihabudin juga menyayangkan terjadinya konflik yang seringkali mengandalkan kekerasan dalam menghadapi perbedaan keyakinan. Baginya, akan lebih baik jika umat Islam lebih fokus dalam meningkatkan derajatnya daripada berlaku reaktif. “Rosululah saja hidupnya berdampingan dengan orang yahudi kok,” tuturnya. Ia justru mengingatkan jika mungkin saja isu keagamaan bersifat politis. “Ya kalau diladeni kita capek sendiri,” tambah Sihabudin. Ia menyaran jika persoalan seperti itu lebih baik diselesaikan secara prosedural.
Kedekatan Isy Karima dengan timur tengah menjadi musabab isu yang mengaitkannya dengan terorisme. Bagi Sihabudin tuduhan tersebut mengada-ada. Menurutnya para syeh yang menjadi panutan Isy Karima adalah ulama yang tak sepakat dengan faham terorisme. “Masayeh yang dari Saudi itu semuanya anti terorisme,” pungkas Sihabudin.
Fauzul Mubin, ustadz sekaligus humas Isy Karima mengaku jika tuduhan yang mengaitkan Isy Karima dengan terorisme memang beberapa kali terjadi. Pernah suatu saat Isy Karima dituduh memiliki bunker (ruang bawah tanah). Piahak intelejen mengatakan bahwa dari pengindraan satelit terdapat ruang semacam bunker di kompleks Isy Karima. “Bangunan kita itu berada di tanah yang menurun. Kalau diratakan berapa duit kita mesti keluar?” kata Fauzul. Sebagian besar bangunan Isy Karima memang menurun. Jika dilihat dari depan nampak seperti bangunan satu lantai tapi sebenarnya empat tingkat  kebawah.
 Pada suatu kesempatan masjid Isy Karima disinggahi rombongan anggota Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Mereka sekedar mendirikan solat. Namun, kepolisian menilai jika Isy Karima tengah menyiapkan aksi terorisme. Akhirnya sejumlah intel mencoba masuk namun dengan tegas Isy Karima menolak. “Ini wilayah kami kok,” ujar pria 32 tahun ini. Kepolisian juga pernah menuduh ada 10.000 mujahid tengah melakukan rapat di Isy Karima. “Saya telfon mereka (Polisi, Red.) untuk segera datang. Logikanya nggakmungkin 10.000 orang bisa bubar dalam hitungan menit,” tambah Fauzul.
Kejadian paling unik menurut Fauzul adalah ketika Isy Karima dituduh memiliki peluncur roket. Pihak keamanan menuduh Isy Karima menjadi markas dari rencana aksi terorisme. “Padahal itu rock climbing (papan panjat dinding),” kenang Fauzul sembari tertawa terbahak. Tuduhan polisi kepada Isy Karima terkait terorisme seriang mengada-ada dan tak pernah terbukti. “Saya ngobrol sama komandan Polisi. Saya ngomong mbok kalo punya intel itu disekolahin dulu biar pinter,” canda sosok jenaka kelahiran Magelang ini.
****
Pipin Ardiana tengah menunggui dagangannya. Ia menghadap komputer menghitung labanya hari itu. Toko Na’imah yang ia jaga menyediakan camilan, minuman, hingga baju muslim dan buku-buku mengenai Islam. Tepat di sebrang jalan, berdirilah El-Betel, wisma dan temapt beribadah umat kristiani. Menurut Pipin, El-Betel ramai jika hari libur. Banyak acara keagamaan yang diadakan di tempat yang telah berdiri pulahan tahun lalu ini.
elbetel
Letak El-Betel hanya terpaut sekitar 20 meter dari Isy Karima. Namun, menurut Pipin keduanya melakukan kegiatan sendiri-sendiri tanpa adanya masalah. Meski tokonya menjual peralatan muslim, Pipin mengaku jika banyak pengunjung El-Betel yang berbelaja. “Mereka membeli makanan dan minuman,” tutur remaja 17 tahun ini. Pemiliki toko Na’imah yang pipin jaga juga jamaah pengajian di Isy Karima. “Tidak pernah terjadi hal yang macem-macem,” tambah Pipin.
Wilayah Karanganyar, khususnya Kecamatan Karangpandan terhitung cukup kondusif. Meski cukup beragam, masyarakat Karangpandan mampu dewasa dalam menyikapinya. Hal itu juga diakui oleh Parman, salah seorang polisi yang bertugas di Polres Karangpandan. Menurut Parman, tidak pernah terjadi gangguan kemanan yang serius di wilayah tugasnya. “Karangpandan aman terkendali,” tuturnya.
           Ketika disinggung ihwal Isy Karima, Parman berkisah jika selama puluhan tahun bertugas di Karangpandan ia tak pernah mendapati laporan yang negatif. Ia juga sempat beberapa kali ditugasi untuk berjaga di Isy Karima. “Kalau ada acara-acara besar kami ikut mengamankan,” kata pria asli Pacitan, Jawa Timur ini. Menurutnya Isy Karima juga pro-aktif terhadap kepolisin. Tiap kali mengadakan kegiatan, Isy Karima selalu mengajukan surat izin.


Diterbitkan di Majalah Isra', Pusham UII

0 komentar:

Posting Komentar

Berikan komentar terbaik anda,insyaAlllah untuk kebaikan bersama

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More