Kamis, 11 Oktober 2012

Rahasia Ustadz Kita

Ketemu lagi kita fren. Sekarang disini kita mau membongkar rahasia ust kita. Yang mana rahasia ini membawa kepada sang ustadz mencapai tingkat pendidikan S3. Dan semua gelar sarjana didapat dengan beasiswa. hmmm mau tahu kan,Yap,beliau adalah Ust DR Mu’inudinillah Basri, MA . Kita akan sedikit mengungkap rahasia dr beliau nih. Rahasia ini datang dari ibunda beliau. Yuk,kita baca dgn seksama hasil wawancara ibunda ust Muin dgn majalah Hidayatullah. Semoga menjadi Inspirasi dan Penyemangat bersama.

Hj. Musa’adah : Kekuatan Doa dan Shalat Lail Ibu

ilustrasi
Sendirian mengantarkan delapan anaknya menjadi orang berilmu dan shalih. Salah seorang di antaranya bahkan menjemput syahid.
Hari itu, 30 tahun lalu, duka menyelimuti Musa’adah. Muhammad Basri, suaminya tercinta dipanggil Allah. Ia ditinggali enam orang anak dan bayi yang masih dalam kandungan (belakangan diketahui anak yang di dalam kandungan itu kembar dua). Status janda saja sudah menjadi beban tersendiri, apalagi ditambahi delapan anak yang masih kecil-kecil, jelas itu beban yang amat berat. Namun Sa’adah, demikian biasa dipanggil, tak ingin lama-lama larut dalam kesedihan. Bagaimanapun, kehidupan harus berjalan terus.
             Syukurnya, semasa hidupnya, Basri membuka toko kelontong di Kartasura Solo, Jawa Tengah untuk menafkahi keluarganya. Namun, setelah ia meninggal, toko itu lambat laun mengalami kemunduran hingga bangkrut. Sa’adah pun memboyong anak-anaknya ke Tempursari Solo, tanah kelahirannya.
Di Tempursari segala usaha dilakukan perempuan yang lahir 66 tahun lalu ini, mulai dari buka warung kecil-kecilan hingga tukang kredit pakaian. Selama menikah dengan Basri, Sa’adah hanya fokus dalam mengasuh dan merawat anak-anaknya. Kini, ia harus memeras keringat dan membanting tulang, demi buah hatinya.

Tiap malam ia mengadu kepada Allah Ta’ala agar diberi kemudahan dan ketabahan dalam menjalani hidupnya. Ia sadar, predikat janda masih dianggap sebelah mata oleh orang-orang sedesanya. Oleh karena itu, ia bertekad mengantarkan anak-anaknya meraih pendidikan setinggi-tingginya.
Dalam menjalankan usaha kreditan baju, Sa’adah mengaku hanya bermodal kejujuran dan amanah. “Kalau kita tidak jujur, rezeki itu tidak akan berkah. Saya hanya mencari keberkahan walaupun sedikit,” katanya.
Sa’adah bersyukur, ketika ditinggal suaminya, ia tidak memiliki hutang sepeser pun. Ia juga berusaha agar tidak berhutang, bagaimanapun sulitnya penghidupan yang ia hadapi. “Saya paling takut kalau punya hutang,” prinsipnya.

Doktor yang Hafidz Qur’an

DR Mu’inudinillah Basri, MA

Buah keteguhan hati dan kerja keras yang diiringi doa pada Sang Kuasa, akhirnya membuahkan hasil. Sa’adah mampu mengantarkan anak-anaknya menjadi orang-orang berilmu. Dua di antaranya bahkan meraih gelar doktor, DR Mu’inudinillah Basri, MA (putra kedua) dan DR Setiawan Budi Utomo, MM (putra ketiga). “Alhamdulillah, semua ini berkat rahmat Allah. Kalau tidak, mana mungkin bisa. Apalagi kalau dihitung secara matematis,” ujarnya.
Rata-rata anak Sa’adah mendapatkan beasiswa ketika menempuh studi S1. Mu’in dan Budi bahkan dapat beasiswa hingga ke jenjang S3. Mu’in dapat beasiswa sejak di LIPIA Jakarta. Berbekal prestasinya yang mengagumkan, selalu peringkat pertama, ia ditawari melanjutkan studi S2 di Saudi Arabia. Tak hanya S2, di negeri petro dolar itu pula Mu’in mendapatkan gelar doktornya. Demikian pula dengan Budi, semua jenjang pendidikannya, mulai dari S1 hingga S3 ditempuh dengan mendapatkan beasiswa.

DR Setiawan Budi Utomo, MM
Sa’adah memang lebih mementingkan pendidikan agama bagi anak-anaknya ketimbang pendidikan umum. Anak-anaknya ia sekolahkan di madrasah dan pondok pesantren. “Sejak dulu saya bercita-cita punya anak-anak yang jadi ulama,” katanya.
Ia pun mengarahkan mereka supaya belajar secara serius dan sungguh-sungguh agar mendapatkan beasiswa. Sa’adah sadar akan kondisi ekonomi keluarganya yang pas-pasan. Oleh karena itu, ia meminta anak-anaknya tidak menyia-nyiakan kesempatan belajar.
Selain itu, alasan lain yang membuatnya lebih memilih pendidikan pesantren ketimbang pendidikan umum adalah ingin melihat anak-anaknya bisa menghafal al-Qur’an. Setiap malam, ketika shalat Tahajjud, Sa’adah selalu berdoa agar anak-anaknya bisa jadi hafidz (penghapal al-Qur’an). Doa Sa’adah dikabulkan Allah, empat anaknya berhasil hapal al-Qur’an. Mereka adalah Mu’inudinillah Basri, Setiawan Budi Utomo, dan si kembar Ahmad Syaifuddin dan Ahmad Nurdin (almarhum). “Alhamdulillah, saya bersyukur karena doa saya dikabulkan,” ujar Sa’adah haru.

Menurut nenek tujuh belas cucu ini, hal terpenting yang ia tekankan pada anak-anaknya adalah tentang keseriusan dan kedisiplinan serta tidak melupakan shalat lima waktu. Hal inilah yang dapat mengundang rahmat dan berkah Allah Ta’ala.
Mujahid
Salah satu putra Sa’adah, Ahmad Nurdin menjemput syahid di bumi jihad, Ambon pada tahun l999. Nurdin berangkat ke Ambon ketika situasi sedang panas-panasnya, dimana pembantaian terhadap umat Islam tengah menjadi-jadi. Kuliahnya yang baru memasuki tahun kedua di LIPIA Jakarta, ia tinggalkan demi membela saudara sesama Muslim. “Ia meminta izin pada saya mau membantu orang Islam di Ambon,” tutur Sa’adah mengenang kepergian putra bungsunya itu.
Dan ternyata, itu adalah pertemuan terakhirnya dengan Ahmad Nurdin. Di tengah berkecamuknya perang, Nurdin terkena tembakan di beberapa bagian tubuhnya; di dada, perut dan paha. Tak lama tertembus peluru, lajang yang suka menolong orang itu pun menjemput syahid dan langsung dimakamkan lengkap dengan pakaian yang ia kenakan, tanpa dikafani. “Bau tubuhnya harum ketika akan dimakamkan. Itu yang dituturkan teman-temannya pada saya,” kata Sa’adah.

Hal inilah yang menguatkan dan menabahkan hatinya hingga tidak terlalu larut dalam kesedihan. Kata Sa’adah, “Mati syahid adalah cita-cita tertinggi setiap orang beriman. Dan anak saya bisa meraihnya.” Salah satu hal yang selalu terkenang di hati Sa’adah akan putranya itu adalah keistikomahan Nurdin yang selalu menjalankan puasa Sunnah Senin-Kamis.
Sejak meletusnya kerusuhan di Ambon, Nurdin tidak pernah makan nasi. Ia hanya mengonsumsi sayuran. “Katanya, ia tidak mau makan nasi sebelum dapat memberikan bantuan kepada orang-orang Muslim di Ambon,” ujar Sa’adah mengulang kata-kata almarhum.
Hingga kini Sa’adah tidak pernah tahu dimana putra bungsunya itu dimakamkan. Namun ia mengaku ikhlas dan pasrah kepada Allah. Sebagaimana lazimnya kehilangan orang-orang terkasih, Sa’adah juga dilanda kesedihan, namun ia tak mau larut dalam duka. “Kepada-Nya kita semua akan kembali. Kalau diratapi juga tidak akan mengembalikan anak saya. Sudahlah, besok di akhirat juga kita akan bertemu.” ujarnya tabah.

Sa’adah merasa bangga dan bersyukur. Baginya, mati syahid tidak akan terjadi begitu saja. Dicari malah tidak ketemu, meski terus berperang dan berjihad. “Itu adalah takdir dan rahmat Allah,” ujarnya seraya mengisahkan panglima perang Islam, Khalid bin Walid, yang terus memburu syahid dalam perang, namun meninggal di atas tempat tidur.
Satu hal yang dipesankan Sa’adah. Jagalah lidah agar tidak mengeluarkan omongan yang tidak baik. Karena, kata Sa’adah, ucapan adalah doa.
Ia sering miris melihat orang lain mengatai anak-anaknya dengan kata-kata yang buruk ketika anak-anaknya berbuat nakal. “Saya sampai istighfar berkali-kali jika melihat hal demikian, karena saya sendiri tidak pernah mengatai anak-anak dengan sebutan yang buruk. Makanya, hati-hati kalau berkata-kata yang tidak baik pada anak-anak!” pesannya.
Sa’adah juga selalu mendidik anak-anaknya agar peduli dan berempati dengan penderitaan orang lain. Menurutnya, setiap memperoleh rezeki, kita harus sadar bahwa di situ ada hak orang lain. “Jangan eman (sayang) dalam membantu orang!” nasehat yang selalu ia sampaikan. *Chairul Akhmad/Suara Hidayatullah APRIL 2008

0 komentar:

Posting Komentar

Berikan komentar terbaik anda,insyaAlllah untuk kebaikan bersama

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More