Kamis, 13 Desember 2012

SELINGAN CINTA DARI KHAZANAH LAMA

Inilah kisah seorang gadis yang sangat cantik jelita. Dialah sang bunga di sebuah kota yang harumnya semerbak hingga negri-negri tetangga. Tak banyak yang pernah melihat wajahnya, sedikit yang pernah mendengar suaranya, dan bisa dihitung jari orang yang pernah berurusan dengannya. Dia seorang pe
milik kecantikan yang terjaga bagaikan bidadari di taman surga.

Sebagaimana wajarnya, sang gadis juga memendam rasa cinta. Cinta itu tumbuh, anehnya, kepada seorang pemuda yang belum pernah dilihatnya, belum pernah ia mendengar suaranya, dan belum tergambar wujudnya dalam benak. Hanya karena kabar. Hanya karena cerita yang beredar. Bahwa pemuda ini tampan bagai Nabi Yusuf zaman ini. Bahwa akhlaqnya suci. Bhwa ilmunya tinggi. Bahwa keshalihannya membuat iri. Bahwa ketaqwaannya telah berulang kali teruji. Namanya kerap muncul dalam pembicaraan dan do’a para ibu yang merindukan menantu.

Gadis pujaan itu telah kasmaran sejak didengarnya sang bibi berkisah tentang pemuda idaman. Tetapi begitulah, cinta itu tepisah oleh jarak, terkekang oleh waktu, tersekat oleh rasa asing dan ragu. Hingga hari itu pun tiba. Sang pemuda berkunjung ke kota si gadis untuk sebuah urusan. Dan cinta sang gadis tak bisa lagi menunggu. Ia telah terbakar rindu pada sosok yang bayangannya mengisi ruang hati. Meski tak pasti adakah benar yang ia bayangkan tentang matanya, tentang alisnya, tentang lesung pipinya, tentang ketegapannya, tentang semuanya. Meski tak pasti apakah ciintanya bersambut sama.
Maka ditulisnyalah surat itu, memohon bertemu.

Dan ia mendapat jawaban. “Ya”, katanya.

Akhirnya mereka bertemu di suatu tempat yang disepakati. Berdua saja. Awal-awal tak ada kata. Tapi bayangan masing- masing telah jauh menembus mata, menghadirkan rasa tak karuan dalam dada. Dan sang gadis mendapati bahwa apa yang ia bayangkan tak seberapa dibanding aslinya; kesantunannya, kelembutan suaranya, kegagahan sikapnya. Ia berkeringat dingin. Tapi diberanikannya bicara, karena beginiah kebiasaan yang ada pada keluarganya.

“Maha Suci Alloh”, kata si gadis sambil sekilas kembali memandang, “Yang telah menganugrahi engkau wajah yang begitu tampan”.
Sang pemuda tersenyum.Ia menundukan wajahnya. “Andai saja kau lihat aku”, katanya,” Sesudah tiga hari dikuburkan. Ketika cacing berpesta membusukannya. Ketika ulat-ulat bersarang di mata. Ketika hancur wajah menjadi busuk bernanah. Anugrah ini begitu sementara.Janganlah kau tertipu olehnya.”
“Betapa inginnya aku”, kata si gadis,”Meletakkan jemeriku dalam genggaman tanganmu.”
Sang pemuda berkeringat dingin mendengarnya. Ia menjawab sambil tetap menunduk memejamkan mata. “Tak kurang inginnya aku berbuat lebih dari itu. Tetapi coba bayangkan, kulit kita adalah api neraka; yang satu bagi yang lainnya. Tak berhaq saling disentuhkan. Karena di akhirat kelak hanya akan menjadi rasa sakit. Dan penyesalan yang tak berkesudahan.”
Si gadis ikut tertunduk. “Tapi tahukah engkau”, katanya melanjutkan,”Telah lama aku dilanda rindu, takut, dan sedih. Telah lama aku merindukan saat aku meletakkan kepalaku di dadamu yang berdegup. Agar berkurang beban- beban. Agar Alloh menghapus kesempitan dan kesusahan.”
“Jangan lakukan itu kecuali dengan haqnya,” kata sang pemuda,”Sungguh kawan- kawan akrab pada hari kiamat satu sama lain akan menjadi seteru. Kecuali mereka yang bertaqwa.”

Kita cukupkan sampai d sini sang kisah. Mari kita dengar komentar Syaikh ‘abdulloh Nasih Ulwan tentangnya. “Apa yang kita pelajari dari kisah ini?”, demikian beliau bertanya. “Sebuah kisah yang indah.Sarat dengan ibrah dan pelajaran. Kita lihat bahwa sang pemuda begitu fasih membimbing si gadis untuk menghayati kesucian dan ketaqwaan kepada Alloh.”
“Tapi”, kata beliau memberi catatan. “Dalam kisah indah ini kita tanpa sadarmelupakan satu hal. Bahwa sang pemuda sang pemuda dan gadis melakukan pelanggaran syari’at. Bahwa sang pemuda mencampur adukan kebenaran dan kebathilan. Bahwa ia meniupkan nafas da’wah dalam atmosfir yang ternoda. Dan dampaknya bisa kita lihat dalam kisah; Sang gadis sama sama sekali tak mengindahkan da’wahnya. Bahkan ia makin berani dalam kata-kata; mengajukan permintaan- permintaan yang makin meninggi tingkat bahayanya dalam pandangan syari’at Alloh.”

Ya. Dia sama sekali tak memperhatikan isi kalimat da’wah sang pemuda. Buktinya, kalimatnya makin berani dan menimbulkan syahwat dalam hati. Mula-mula hanya mengagumi wajah. Lalu membayangkan tangan bergandengan, jemarinya menyatu bertautan. Kemudian membayangkan berbaring dalam pelukan. Sbhanalloh, bagaimana kalau percakapan diteruskan tanpa batas waktu?
“Kesalahan itu “, kata Syaikh ‘abdulloh Nasih ‘Ulwan memungkasi, “telah terjadi sejak awal.” Apa itu? “Mereka berkhalwat! Mereka tak mengindahkan peringatan syari’at dan pesan sang Nabi tentang hal yang satu ini.”
Ya. Mereka berkhalwat, bersepi berduaan. Ya . Sang pemuda sedang berda’wah. Tapi da’wahnya “Da’wah Dusta”.
 

0 komentar:

Posting Komentar

Berikan komentar terbaik anda,insyaAlllah untuk kebaikan bersama

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More