Kamis, 26 Juli 2012

Layakkah???

“Saat kita akan menulis angka-angka yang bernilai negatif, pasti akan kita sisipkan simbol minus (-) di depan angka tersebut.  Namun saat angka itu bernilai positif, tak akan ada simbol plus (+) di depannya...”


Ya, itulah manusia. Saat kita melihat hal-hal negatif yang tampak pada orang lain, spontan kita suarakan kicau penolakan, deru cercaan, bahkan hujaman tombak nada perendahan dengan lantangnya. Namun, akan lain halnya jika kebaikanlah yang ternyata tersemai dalam diri mereka. Enggan lisan tuk mengapresiasi. Malu hati rasa tuk mengungkapkan. Menutup-nutupi. Bahkan terkadang, justru rasa iri lah yang mengepal di hati. Menimbulkan pola bercak hitam di atas kaca hati. Ya, kini hatimu telah ternodai, kawan. Dengan titik tinta hitam noda kedengkian.

Terlalu dini sebenarnya bagi kita untuk menjadikan orang lain sebagai objek justifikasi hujatan dan cercaan kita. Sudah layakkah sebenarnya lisan kita melayangkan hal-hal tersebut pada orang lain? Kenapa tak kita hadapkan saja sebuah cermin di depan hadapan kita, kemudian kita lantangkan suara sanggah dan ketidaknyamanan itu pada sosok yang terpantulkan dalam cermin tersebut? Diri kita sendiri lah yang selayaknya menjadi bahan evaluasi pertama sebelum orang lain. Sebelum kita mengajak seseorang pada suatu kebaikan, baikkah diri kita saat itu? Kala hendak larangan kita sampaikan pada teman-teman kita, jauhkah diri kita dari larangan tersebut?

Mari sejenak kita tundukkan hati, lembutkan sanubari, tentramkan relung sepi jiwa-jiwa suci. Apa yang selama ini kita keluhkan pada orang lain, jangan-jangan sejatinya mengakar kuat dalam keseharian kita. Bukankah diantara sahabat mulia ada yang enggan beranjak dari satu ayat Al-Qur’an sampai ia mampu tuk mengimplementasikan secara nyata dalam kehidupannya? Mari kita tujukan semua evaluasi-evaluasi yang dahulu kita berikan pada diri kita saat ini pada sosok bernama “SAYA”...

“Murka Allah teramat besar jika kamu mengatakan sesuatu yang sejatinya tidak kau amalkan...”

Lalu, apakah dengan ini kemudian kita lepaskan peranan dakwah dalam keseharian hidup kita? Kita yang sejatinya belum layak menyandang predikat “penyeru”, kemudian harus serta merta melepaskan amanah ini di tengah jalan, sembari berharap ia kan dijemput orang lain yang lebih mapan dan pantas.

Posisi seorang ayah atau ibu pun acap kali mengalami gejala hal yang serupa. Saat sang buah hati tersembahkan di panggung dunia, belum tentu di saat yang bersamaan pula kedua orang tuanya itu telah memiliki kesiapan bekal dan pola metode pembentukan ideal untuk sang buah hati kedepannya. Terkadang bekal yang mereka memiliki alakadarnya. Ilmu pemebentukan karakter yang pun ternyata sangat terbatas. Pengalaman yang juga masih teramat sangat minim. Tapi, keadaan saat itu menuntutnya untuk siap. Sang buah hati mau tidak mau harus segera disekolahkan. Sekolah pertama pembentuk kepribadian dan kematangan sang titipan Rabb semesta. Sekolah tanpa gelar kelulusan yang bernama “Keluarga”. Dalam kondisi demikian, kedua orang tua pun tidak berhenti dari proses belajar dan berbenah. Juga bukan kemudian mereka seenaknya meninggalkan sang permata buah hati lepas dari pembinaan keduanya. Justru disaat inilah posisi orang tua dituntut untuk mau terus belajar banyak hal yang belum terkuasai untuk diberikan dan disumbangkan pada anak mereka. Ya, belajar dan mengajar!

Bagaimana upaya terbaik yang kita kerahkan untuk memantaskan diri menjadi kelompok penyeru kedamaian dan ketentraman hati. Kita akselerasikan amal perbuatan yang dahulu kita perjalankan dengan kecepatan  rata-rata. Sembari bergerak dengan percepatan, risalah ini kita tebar dan bumikan di tengah kehidupan.hwn

alumni 2 menara 2010-2012(Zaki)





Ditulis oleh M. Zaki Hauna
Pelajar di mana saja
Jurusan Ilmu bermanfaat
Fakultas Peradaban
Institut Teknologi Kehidupan

0 komentar:

Posting Komentar

Berikan komentar terbaik anda,insyaAlllah untuk kebaikan bersama

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More